Satu Paragraf

Hi there!
Sangat menyenangkan kamu--secara sengaja maupun tidak, datang ke blog ini. Disini adalah tempat aku menyimpan cerita hasil imajinasiku atas berbagai inspirasi.
Untuk membaca posting di blog ini, saya menyarankan untuk membaca satu paragraf dahulu. apakah itu menarik? apakah itu membuatmu penasaran untuk membaca paragraf-paragraf selanjutnya? lalu tulis komentarmu atas jawaban dari pertanyaan itu.
Terima kasih.
P.S. komentarmu sangat berarti bagi saya dan kelangsungan blog ini :D

Sabtu, 21 Januari 2012

Akhirnya

"Kau memecahkannya?" tak kupercaya suaraku kini mengisi ruangan kecil yang terkunci ini. Memang sudah sepantasnya aku mengeluarkan amarahku kepadanya, orang yang selalu membuat aku kesal semenjak kami bertemu. Aku selalu berpikir, apa salahku sehingga dia selalu tersenyum sinis dan melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati.
Tetapi perlakuan ini hanya berlaku padaku. Tak pernah kulihat cewek-cewek lain yang marah padanya, selalu bersikap centil dihadapannya, senyam-senyum, ketawa-ketiwi nggak karuan. Apa aku boleh besar kepala bahwa aku di 'spesial' kan olehnya? cih, seandainya pun benar, aku tidak mau.
"Sudah kubilang, itu tidak sengaja."
Gayanya yang seenaknya, seakan tidak peduli bahwa vas yang berharga jutaan rupiah itu telah ia hancurkan. Aku benci gayanya.
Dia tersenyum lagi. Sinis. Senyumnya seakan berkata, "ini bukan urusanku." Aku benci senyumannya yang ini.
Aku memutar otak. Apa yang harus kukatakan apa orang-orang diatas sana? Tentu saja, walau aku bilang bahwa cowok menyebalkan ini adalah pelakunya, aku yakin yang akan mendapat hukuman, yah, aku lagi. Aku memungut pecahan-pecahan tajam vas dari lantai dan berhasil melukai tanganku karena pikiranku terlalu terfokus pada usahaku menahan air mata yang sangat ingin turun ke pipi tirusku.
"Kau terluka."
Itu bukan pertanyaan.
"Ayo kita cari obat merah."
Itu bukan ajakan.
Segera saja aku menampis tangannya yang menggenggam pergelangan tanganku yang terluka. Aku hanya diam dan kembali memunguti pecahan-pecahan itu. Baru saja kusimpan kembali beberapa pecahan ke tanganku, cowok itu langsung 'mengambil' tanganku dan menarikku dengan keras sehingga aku sedikit terjungkai ke belakang dan, entah setan apa yang menghinggapinya, aku diangkat olehnya dengan lembut. Kaki dan bagian belakangku berada di tangannya, seakan pengantin suami menggendong istrinya yang baru melaksanakan pernikahan di gereja-gereja, seperti yang biasa kulihat di film-film Hollywood. Hello, ini di Indonesia!
Tentu saja aku berontak, namun begitu dia bersuara--tidak, dia tidak berteriak--aku langsung terdiam, kaku. Ada nada ancaman di kata-katanya, ada nada memaksa dari suaranya, yang pasti, aku tidak dapat berkutik.
Aku mendapat perawatan dari pekerja yang sedang bertugas saat itu. Lalu cowok itu langsung memberi perintah kepadanya untuk membersihkan pecahan vas diruangan sebelumnya. Pekerja itu segera melaksanakan perintahnya.
"Kau sangat bodoh."
Perasaanku langsung diserbu oleh rasa amarah, kesal dan aneh. Mengapa kali ini suaranya penuh dengan siratan rasa puas, lega?
Kata-kataku langsung kutelan lagi setelah ucapannya kali ini, "Akhirnya aku lihat sisi negatifmu."
Senyumnya sangat puas.
***

Rabu, 11 Januari 2012

Penasaran

Aku melihatnya tersenyum.
Aku melihatnya tertawa.
Aku melihatnya bercanda dengan teman-temannya.
Aku sudah melihat beragam ekspresinya.
Semua ekspresi positifnya.
Aku penasaran, bagaimana ekspresi wajahnya saat marah, menangis, hal negatif lainnya.
Tapi hingga saat ini, dia tak pernah memperlihatkannya.
Apa harus kupaksa?
***

Sabtu, 10 Desember 2011

Satu Orang Terkasih


Bisa dibilang aku adalah seorang playboy. Tapi bukan sembarang playboy yang biasanya dicap ikan teri. Begini-begini aku punya tiga belas pacar yang tak pernah ketahuan. Tapi walau mereka benar-benar menyayangiku, tak satu pun dari mereka yang kusukai sepenuh hati.
            Apa memang aku berbakat—berbohong? Ya, aku senang berakting. Apalagi dengan wajahku yang bisa dibilang sangat sempurna: kulit putih, hidung mancung, tinggi, pintar, gampang bergaul dengan siapapun bahkan dengan guru dan orang tua pacar-pacarku. Aku tak pernah menyesali hal ini, aku malah beruntung dengan bakatku ini. Aku yang supel ini tentu punya banyak teman dan pacar. Siapa yang tak mau dengan cowok sempurna sepertiku? Tampaknya semua orang ingin berkenalan denganku.
***
“Vin, Kevin!”
            Suara falsetto itu menyadarkanku dari lamunan yang sedang membayangkan betapa terkadang tak adilnya Tuhan, memberikan semua kesempurnaan fisik ini hanya padaku. “Eh, ada apa Git?”
            “Kamu ini. Dari tadi aku panggil. Kamu bawa lembaran biodata yang dikasih kemarin nggak?”
       “Rasanya sih aku bawa. Sebentar,” aku pun mengambil tasku dan mengacak-acaknya, mencari lembaran kuning yang diberikan oleh guru bimbingan konseling, yang membuat murid-murid akan kewalahan jika bolos sekolah dan ditelepon oleh guru bimbingan konseling yang sangat terkenal disiplin, keras, dan tak kenal ampun. Berbeda dengan guru-guru disekolah lain yang biasanya lembut, pengertian.
            “Ini, tapi belum diisi. Kapan dikumpulkannya?”
            “Isi dulu dong. Aku tunggu sampai bel pulang sekolah hari ini. Cepetan ya.” Tegasnya.
            Dia adalah Gita Rubyana, wakil ketua kelas yang sangat tegas, seperti tak ingin ketinggalan sedetik pun. Mengumpulkan tugas harus selalu tepat waktu, pekerja keras. Terhadap cowok, dia selalu mengerutkan kening, jawabannya bila ditanya selalu hanya seperlunya. Anehnya, jika mengobrol dengan teman-teman ceweknya, dia selalu tertawa, sering berbicara—hingga kukira dia cerewet pada awalnya. Apa mungkin dia nyambung bila mengobrol tentang gossip? Cewek itu penyuka gossip, benar?
***
Hari ini aku telat pulang karena harus ikut siswa yang belum punya nilai atau nilainya kurang pada pelajaran sosiologi. Aku tak punya nilai karena pada saat ulangan itu aku jatuh sakit.
          Sekarang sudah jam 17.28. Duh, sudah sore sekali. Mana biodata ini belum dikumpulin ke Gita lagi. Masa besok sih? Kasihan Gita, nanti dia dimarahin oleh guru BK.
          “Hei, sudah selesai perbaikannya?” suara tinggi itu kembali mengejutkanku saat pikiranku tertuju pada bayangan Gita yang sedang dimarahi oleh guru BK. Dan sekarang gadis itu masih menungguku?
            “Lho Git? Kok masih disini? Kan sudah sore.”
            “Kamu mau aku besok dimarahi sama Bu Virni? Mati aku nanti. Udah, mana biodatanya?”
            Kembali, aku mengacak-acak tasku. Dan ternyata biodata itu belum kuiisi.
            “Sorry Git, belum sempat diisi. Gimana kalau besok? Besok aku yang jelasin ke Ibu deh.”
            “Hah? Tumben kamu ngulur-ngulur waktu kayak begini. Biasanya walau kamu belum bikin pr, pasti waktu dikelas kamu langsung ngerjain. Diisi sekarang saja gimana?”
            Iya juga ya. Kenapa aku ingin cepat-cepat pergi dari sini?
            “Boleh deh. Tunggu ya.”
      Maka, selagi aku mengisi biodata; nama, tempat tanggal lahir, alamat, nomor handphone, dan pertanyaan basic lainnya, kami mengobrol terus. Tak kusangka, ternyata dia tidak terlalu kaku. Walau dia jarang bertanya padaku, tapi dia memberikan jawaban yang ‘tak seadanya’ lagi. Aku heran, mengapa tak ada yang mau jadi pacarnya hingga kini?
            “Ini sudah Git.”
            “Oh, tuh kan cepat. Makasih ya. Aku selamat deh.” Ucapnya penuh kelegaan.
            “Bukannya kamu lumayan akrab dengan Bu Virni? Biasanya beliau suka manggil-manggil kamu,”
            “Itu kan karena Ibu sudah tahu KM kita nggak benar. Makanya pelampiasannya ke aku.”
            Aku tertawa.
            “Lho? Kenapa ketawa Vin?” tanyanya bingung.
            “Kata-kata kamu itu lho, Git. Nggak cocok sama kesan disiplin kamu,” kembali aku tertawa lagi.
            “Oh ya? Memangnya kesan aku kayak gimana?”
            “Yah, gitu deh.” Karena aku malu untuk membicarakannya, maka kututup saja. “sudah sore banget nih. Mau kuantar? Aku bawa motorku kok.” Aku menunjuk motor ninja-ku dengan kepalaku.
            “Ah, nggak usah deh. Aku mau dijemput sama pacarku kok.”
            “Oh gitu ya.” Tunggu! Pacar? “Lho, memangnya kamu sudah punya pacar, Git?”
            Deg!
        “Iya. Aku memang sudah punya. Sudah lama kok, sudah hampir tiga tahun. memangnya kenapa? Kayanya kamu kaget banget.”
        “A, ah, nggak kok. Iya, aku cuma kaget aja. Kirain aku kamu nggak punya cowok. Kamu kayak nggak bisa akrab dengan cowok sih. Eh, sorry ya.”
         “Nggak apa-apa kok. Teman-temanku pun baru tahu sebulan yang lalu,” dia terkekeh. “Aku hebat dalam menyembunyikan emosiku.” Katanya bangga. “Ya sudah, kamu pulang saja duluan. Aku mau menunggunya dulu.”
            “Masa cowok se-gentle aku ninggalin cewek sendirian sih? Sudah hampir malam lagi.”
            “Makasih.” Ucapnya singkat plus dengan senyumnya yang—ternyata—manis.
            “Ngomong-omong, anak mana cowok kamu?” tanyaku setelah kami duduk di bangku kecil di taman depan sekolah.
            “Sudah kuliah dia.”
            “Oh ya? Hebat juga kamu. Kuliah dimana?”
            “ITB.”
            “Wooowww… keren banget! Jurusan apa?”
            “Teknik pertambangan dan perminyakan.”
            “Ooohh.”
Beberapa detik kami terdiam.
“Hm, sorry ya Git, kalau nyinggung. Apa nggak susah? Ngejalin hubungan dengan anak kuliahan? Mereka kan sibuk-sibuk.”
            “Awalnya sih susah, aku sudah hampir minta putus, tapi nggak jadi. Awal kuliah jadi maba kan memang sibuk banget. Setelah jadi maba, dia malah ikut kepanitiaan untuk festivalnya. Hampir empat minggu kita nggak komunikasi.”
            “Oh. Kamu tabah banget Git.”
            “Tampak luarnya begitu ya? Yah, aku sih nggak ngerasa kayak gitu. Soalnya aku sering mendumel, ngeluh terus.”
            “Sama siapa? Katanya teman-teman kamu tahunya satu bulan yang lalu?”
            “Sama diary-ku.” Ucapnya singkat dengan rasa bangga.
            “Kenapa nggak ke teman-temanmu saja?”
            “Ke mereka? Kan tadi aku udah bilang, mereka nggak bisa kasih respon yang baik. Paling hanya, “oh”, “oh ya?”, “hmm”, yah sebangsanyalah. Kalau gitu kan males ngedengernya juga.”
            “Eh, kok pacar kamu belum datang-datang aja sih?” kataku setelah beberapa saat kami terdiam lagi.
            “Eh iya ya. Kamu sih ngajak ngobrol terus. Mana ya dia?”
            Gita merogoh saku rok-nya. Mengambil handphone berwarna gold-nya. Memencet beberapa nomor, dan mengangkatnya ke kupingnya.
            “Bilang dong dari tadi!”
            Sebelumnya Gita hanya diam saja. pembicaraan itu tak sampai satu menit.
            “Kevin, kamu keberatan nggak kalau nganterin aku pulang ke rumah?”
            Aku perhatikan, walau poninya menutupi keningnya, tapi kutahu dia sedang mengerutkannya.
            “Tentu saja tidak. Ayo.” Kami berjalan ke sisi jalan, tempat motorku di parkir. “Dia tak bisa datang menjemput?”
            “Nggak tahu ah! Aku nggak peduli dengannya lagi!”
            Takut menyinggung perasaannya, aku pun hanya tutup mulut. Mendengar nada amarah di suaranya, membuatku ingin memeluknya, menghentikan amarahnya. Tapi aku tak bisa seenaknya, apa lagi dia teman sekelasku.
***
Hari-hari berikutnya, aku jadi sering mengobrol dengan Gita. Aku menanyakan kabar hubungannya dengan cowok itu. Tapi dia tetap tak memberi tahuku alasan cowok itu tak bisa menjemputnya, walau sudah ditunggu hampir sepuluh menit. Karena itu, tampaknya dia marah terus.
            Dia marah, mengeluh hanya didepanku saja. Tapi didepan teman-temannya, aku perhatikan dia selalu tersenyum. Tapi bukan tertawa. Seperti yang kuperhatikan juga, teman-temannya tak menyadari akan hal itu.
            Dan hari ini kuperhatikan, dia kebanyakan tiduran terus di kelas. Bila ditanya, pasti jawabannya mengantuk, begadang sampai malam.
            Sore ini, aku pulang terlambat karena dipanggil oleh Bu Virni. Yang memberitahuku bahwa nilai-nilaiku menurun, walau tetap peringkat satu. Tapi nilaiku hampir tersusul oleh Dini, sang peringkat dua. Namun sayng, gita tak termasuk lima besar.
            “Lho? Gita? Lagi ngapain disini?” kulihat dia sedang berdiri di depan gerbang sekolah.
            “Nunggu jemputan yang dari jam empat tadi belum ada.”
            “Dari jam empat? Gila, ini sudah jam setengah enam sore! Sudah, pulang saja sana.”
            “Ya, sepertinya memang begitu. waktu itu dia bilang tak bisa jemput karena ada rapat mendadak dari jam empat dan tak sempat memberitahuku. Dan kali ini, aku tak ingin meneleponnya lagi dari tadi siang.”
            “Oh. Ya sudah, Pulang yuk.”
            “Tuh kan, kamu juga sama saja dengan yang lain! Kukira kau akan berbeda dengan yang lain, bisa memberikan komentar yang bisa meringankan perasaanku. Tapi tidak!” Ujarnya. “Kamu sama saja dengan yang lain, tak pernah benar-benar mendengar ceritaku. Kamu bohong saat penasaran pada ceritaku. Ah iya, aku lupa, kau adalah penggombal sejati.” Katanya disertai senyum sinis yang bisa membuat orang merinding karenanya. “Seharusnya aku memang tak pernah percaya pada semua ucapanmu, semua orang sama saja!”
            Gita lalu berbalik dan meninggalkanku yang masih termangu. Bingung, sebenarnya tadi tuh apa?
            Karena merasa bersalah, aku pun berniat mengejarnya, tapi Gita Rubyana adalah pelari tercepat se-Indonesia, dia adalah seorang atlet lari kebanggaan Indonesia. Akhirnya aku memacu motor ninja-ku, dan Gita pun terkejar setelah satu menitan.
            “Tunggu dulu, Git. Biarkan aku bicara dulu.” Pintaku yang masih mengendarai motor di jalan yang jarang ada kendaraan masuk kesini, bahkan angkutan umum.
            “Mau bicara apa? Semua sudah terbukti dengan kata-katamu tadi!”
            “Kata-kataku yang mana, Git?”
            “Kau menyuruhku pulang, setelah aku bercerita! Apa kau tak pernah belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, hah!?” Ungkapnya dengan marah. Dia berbicara dengan nada yang lumayan cepat, tapi dia tidak terengah-engah. Padahal ini sudah hampir tiga meter dari gerbang sekolah.
            “Soal itu, aku minta maaf Git. Aku hanya tak tahu harus memberimu komentar apa.”
            Tiba-tiba Gita menghentikan larinya yang hanya bisa terkejar dengan motor. Aku yang spontan juga menginjak rem kaki dan rem tangan, yang membuatku menabrak rerumputan dan motor itu melayangkan aku. Aku melayang! Dan jatuh di bawah rerumputan.
            “Ya ampun, Kevin! Mana yang lukanya? Buka matamu Kevin.”
            Aku merasa suara Gita berada di dekatku, membawa tubuhku bersandar pada salah satu pohon besar di dekat aku melayang.
            “Aduh maaf banget ya Vin. Gara-gara aku, kamu sampai jatuh dari motor begini. Katakanlah sesuatu Kevin.” Pintanya.
            “Git, Gita. Aku bukan jatuh, tapi terbang.” Ucapku lemah.
            “Ap—? Ya ampun Kevin, kamu nggak apa-apa? Maafkan aku.”
            “Nggak apa-apa kok. Aku sudah biasa begini, biasa anak karate penuh bantingan seperti tadi. Sayangnya aku tak ada persiapan sama sekali. Aku kaget dengan kau yang tiba-tiba berhenti. Kau hebat! Bisa lari begitu cepat dan berhenti begitu cepat juga.” Pujiku.
            “Ma, maafkan aku. Sungguh, aku minta maaf. Ayo, sekarang kita ke rumah sakit.”
            “Rumah sakit? Ah, sakit seperti ini sih tak ada apa-apanya.” Aku pun beranjak berdiri. Namun ada suara ‘krek’ dari arah tulang rusukku. Dan aku berteriak dengan keras.
            “Tuh kan, banyak laga sih. Ayo ke rumah sakit.”
***
Sudah hampir tiga belas hari aku tak pernah bertemu dengan pacar-pacarku yang cantik-cantik dan seksi. Walau mereka terus memintaku menemui mereka, kubilang aku sedang sibuk—dirawat dirumah sakit. Tulang rusukku patah tiga, urat leherku sedikit menggeser, engsel kakiku tak bisa kugerakkan dan rasa sakit lainnya. Tapi dengan melihat Gita yang kini sedang mengupas apel, kurasakan sakit itu telah hilang tak berbekas.
            Sorenya, setelah Gita pulang, aku menelepon satu per satu pacar-pacarku dan meminta untuk putus. Banyak juga yang menolak, tapi aku tahu cewek seperti mereka walau benar-benar menyayangiku, tapi tanpa kehadiranku selama tiga belas hari ini, ku yakin mereka sudah punya cadangan masing-masing.
            Aku jadi jarang mendengar Gita membicarakan pacarnya lagi, walau sudah kupaksa. Tapi biarlah, aku menikmati waktu dirumah sakit dan dijenguk setiap hari oleh Gita Rubyana. Apa ini namanya cinta?

Satu Paragraf

Hey there.
Disini aku mencoba untuk memulai hal baru--dengan awal yang lama. :)
Aku seorang gadis yang suka dengan hal sastra, terutama membuat cerita dan teater.
Dan di blog ini, aku akan mem-posting cerita hasil dari imajinasiku sendiri. Yang mendapat inspirasi dari manapun.
Aku memberikan hal yang baru--setidaknya buatku :).
Bagi kalian yang telah tak sengaja maupun sengaja membuka blog ini, sekalian, baca SATU PARAGRAF dulu dari cerita yang aku post-kan. apakah itu menarik? apakah itu membuatmu penasaran? setelah itu, kamu bisa tulis komentarmu atas pertanyaan itu.
(bila satu paragraf itu menarik atau membuatmu penasaran, kamu bisa lanjut membaca cerita itu. bila tidak, kamu bisa langsung tulis komentarmu).
Terima kasih.
S. Pratiwi.