Bisa
dibilang aku adalah seorang playboy. Tapi
bukan sembarang playboy yang biasanya
dicap ikan teri. Begini-begini aku punya tiga belas pacar yang tak pernah
ketahuan. Tapi walau mereka benar-benar menyayangiku, tak satu pun dari mereka
yang kusukai sepenuh hati.
Apa memang aku berbakat—berbohong?
Ya, aku senang berakting. Apalagi dengan wajahku yang bisa dibilang sangat
sempurna: kulit putih, hidung mancung, tinggi, pintar, gampang bergaul dengan
siapapun bahkan dengan guru dan orang tua pacar-pacarku. Aku tak pernah
menyesali hal ini, aku malah beruntung dengan bakatku ini. Aku yang supel ini
tentu punya banyak teman dan pacar. Siapa yang tak mau dengan cowok sempurna
sepertiku? Tampaknya semua orang ingin berkenalan denganku.
***
“Vin,
Kevin!”
Suara falsetto itu menyadarkanku
dari lamunan yang sedang membayangkan betapa terkadang tak adilnya Tuhan,
memberikan semua kesempurnaan fisik ini hanya padaku. “Eh, ada apa Git?”
“Kamu ini. Dari tadi aku panggil.
Kamu bawa lembaran biodata yang dikasih kemarin nggak?”
“Rasanya sih aku bawa. Sebentar,”
aku pun mengambil tasku dan mengacak-acaknya, mencari lembaran kuning yang
diberikan oleh guru bimbingan konseling, yang membuat murid-murid akan
kewalahan jika bolos sekolah dan ditelepon oleh guru bimbingan konseling yang
sangat terkenal disiplin, keras, dan tak kenal ampun. Berbeda dengan guru-guru
disekolah lain yang biasanya lembut, pengertian.
“Ini, tapi belum diisi. Kapan
dikumpulkannya?”
“Isi dulu dong. Aku tunggu sampai
bel pulang sekolah hari ini. Cepetan ya.” Tegasnya.
Dia adalah Gita Rubyana, wakil ketua
kelas yang sangat tegas, seperti tak ingin ketinggalan sedetik pun.
Mengumpulkan tugas harus selalu tepat waktu, pekerja keras. Terhadap cowok, dia
selalu mengerutkan kening, jawabannya bila ditanya selalu hanya seperlunya.
Anehnya, jika mengobrol dengan teman-teman ceweknya, dia selalu tertawa, sering
berbicara—hingga kukira dia cerewet pada awalnya. Apa mungkin dia nyambung bila mengobrol tentang gossip? Cewek
itu penyuka gossip, benar?
***
Hari
ini aku telat pulang karena harus ikut siswa yang belum punya nilai atau
nilainya kurang pada pelajaran sosiologi. Aku tak punya nilai karena pada saat
ulangan itu aku jatuh sakit.
Sekarang sudah jam 17.28. Duh, sudah sore sekali. Mana biodata ini
belum dikumpulin ke Gita lagi. Masa besok sih? Kasihan Gita, nanti dia
dimarahin oleh guru BK.
“Hei, sudah selesai perbaikannya?”
suara tinggi itu kembali mengejutkanku saat pikiranku tertuju pada bayangan Gita
yang sedang dimarahi oleh guru BK. Dan sekarang gadis itu masih menungguku?
“Lho Git? Kok masih disini? Kan
sudah sore.”
“Kamu mau aku besok dimarahi sama Bu
Virni? Mati aku nanti. Udah, mana biodatanya?”
Kembali, aku mengacak-acak tasku.
Dan ternyata biodata itu belum kuiisi.
“Sorry
Git, belum sempat diisi. Gimana kalau besok? Besok aku yang jelasin ke Ibu
deh.”
“Hah? Tumben kamu ngulur-ngulur
waktu kayak begini. Biasanya walau kamu belum bikin pr, pasti waktu dikelas
kamu langsung ngerjain. Diisi sekarang saja gimana?”
Iya
juga ya. Kenapa aku ingin cepat-cepat pergi dari sini?
“Boleh deh. Tunggu ya.”
Maka, selagi aku mengisi biodata;
nama, tempat tanggal lahir, alamat, nomor handphone, dan pertanyaan basic lainnya, kami mengobrol terus. Tak
kusangka, ternyata dia tidak terlalu kaku. Walau dia jarang bertanya padaku,
tapi dia memberikan jawaban yang ‘tak seadanya’ lagi. Aku heran, mengapa tak
ada yang mau jadi pacarnya hingga kini?
“Ini sudah Git.”
“Oh, tuh kan cepat. Makasih ya. Aku
selamat deh.” Ucapnya penuh kelegaan.
“Bukannya kamu lumayan akrab dengan
Bu Virni? Biasanya beliau suka manggil-manggil kamu,”
“Itu kan karena Ibu sudah tahu KM
kita nggak benar. Makanya pelampiasannya ke aku.”
Aku tertawa.
“Lho? Kenapa ketawa Vin?” tanyanya
bingung.
“Kata-kata kamu itu lho, Git. Nggak
cocok sama kesan disiplin kamu,” kembali aku tertawa lagi.
“Oh ya? Memangnya kesan aku kayak
gimana?”
“Yah, gitu deh.” Karena aku malu
untuk membicarakannya, maka kututup saja. “sudah sore banget nih. Mau kuantar?
Aku bawa motorku kok.” Aku menunjuk motor ninja-ku dengan kepalaku.
“Ah, nggak usah deh. Aku mau
dijemput sama pacarku kok.”
“Oh gitu ya.” Tunggu! Pacar? “Lho, memangnya kamu sudah punya pacar, Git?”
Deg!
“Iya. Aku memang sudah punya. Sudah
lama kok, sudah hampir tiga tahun. memangnya kenapa? Kayanya kamu kaget banget.”
“A, ah, nggak kok. Iya, aku cuma
kaget aja. Kirain aku kamu nggak punya cowok. Kamu kayak nggak bisa akrab
dengan cowok sih. Eh, sorry ya.”
“Nggak apa-apa kok. Teman-temanku
pun baru tahu sebulan yang lalu,” dia terkekeh. “Aku hebat dalam menyembunyikan
emosiku.” Katanya bangga. “Ya sudah, kamu pulang saja duluan. Aku mau menunggunya
dulu.”
“Masa cowok se-gentle aku ninggalin cewek sendirian sih? Sudah hampir malam lagi.”
“Makasih.” Ucapnya singkat plus dengan senyumnya
yang—ternyata—manis.
“Ngomong-omong, anak mana cowok
kamu?” tanyaku setelah kami duduk di bangku kecil di taman depan sekolah.
“Sudah kuliah dia.”
“Oh ya? Hebat juga kamu. Kuliah
dimana?”
“ITB.”
“Wooowww… keren banget! Jurusan apa?”
“Teknik pertambangan dan
perminyakan.”
“Ooohh.”
Beberapa
detik kami terdiam.
“Hm,
sorry ya Git, kalau nyinggung. Apa nggak susah? Ngejalin
hubungan dengan anak kuliahan? Mereka kan sibuk-sibuk.”
“Awalnya sih susah, aku sudah hampir
minta putus, tapi nggak jadi. Awal kuliah jadi maba kan memang sibuk banget.
Setelah jadi maba, dia malah ikut kepanitiaan untuk festivalnya. Hampir empat
minggu kita nggak komunikasi.”
“Oh. Kamu tabah banget Git.”
“Tampak luarnya begitu ya? Yah, aku
sih nggak ngerasa kayak gitu. Soalnya aku sering mendumel, ngeluh terus.”
“Sama siapa? Katanya teman-teman
kamu tahunya satu bulan yang lalu?”
“Sama diary-ku.” Ucapnya singkat dengan rasa bangga.
“Kenapa nggak ke teman-temanmu
saja?”
“Ke mereka? Kan tadi aku udah
bilang, mereka nggak bisa kasih respon yang baik. Paling hanya, “oh”, “oh ya?”,
“hmm”, yah sebangsanyalah. Kalau gitu kan males ngedengernya juga.”
“Eh, kok pacar kamu belum
datang-datang aja sih?” kataku setelah beberapa saat kami terdiam lagi.
“Eh iya ya. Kamu sih ngajak ngobrol terus.
Mana ya dia?”
Gita merogoh saku rok-nya. Mengambil
handphone berwarna gold-nya. Memencet beberapa nomor, dan
mengangkatnya ke kupingnya.
“Bilang dong dari tadi!”
Sebelumnya Gita hanya diam saja.
pembicaraan itu tak sampai satu menit.
“Kevin, kamu keberatan nggak kalau
nganterin aku pulang ke rumah?”
Aku perhatikan, walau poninya
menutupi keningnya, tapi kutahu dia sedang mengerutkannya.
“Tentu saja tidak. Ayo.” Kami
berjalan ke sisi jalan, tempat motorku di parkir. “Dia tak bisa datang menjemput?”
“Nggak tahu ah! Aku nggak peduli
dengannya lagi!”
Takut menyinggung perasaannya, aku
pun hanya tutup mulut. Mendengar nada amarah di suaranya, membuatku ingin
memeluknya, menghentikan amarahnya. Tapi aku tak bisa seenaknya, apa lagi dia
teman sekelasku.
***
Hari-hari
berikutnya, aku jadi sering mengobrol dengan Gita. Aku menanyakan kabar
hubungannya dengan cowok itu. Tapi dia tetap tak memberi tahuku alasan cowok
itu tak bisa menjemputnya, walau sudah ditunggu hampir sepuluh menit. Karena
itu, tampaknya dia marah terus.
Dia marah, mengeluh hanya didepanku
saja. Tapi didepan teman-temannya, aku perhatikan dia selalu tersenyum. Tapi
bukan tertawa. Seperti yang kuperhatikan juga, teman-temannya tak menyadari akan
hal itu.
Dan hari ini kuperhatikan, dia kebanyakan
tiduran terus di kelas. Bila ditanya, pasti jawabannya mengantuk, begadang
sampai malam.
Sore ini, aku pulang terlambat
karena dipanggil oleh Bu Virni. Yang memberitahuku bahwa nilai-nilaiku menurun,
walau tetap peringkat satu. Tapi nilaiku hampir tersusul oleh Dini, sang
peringkat dua. Namun sayng, gita tak termasuk lima besar.
“Lho? Gita? Lagi ngapain disini?”
kulihat dia sedang berdiri di depan gerbang sekolah.
“Nunggu jemputan yang dari jam empat
tadi belum ada.”
“Dari jam empat? Gila, ini sudah jam
setengah enam sore! Sudah, pulang saja sana.”
“Ya, sepertinya memang begitu. waktu
itu dia bilang tak bisa jemput karena ada rapat mendadak dari jam empat dan tak
sempat memberitahuku. Dan kali ini, aku tak ingin meneleponnya lagi dari tadi
siang.”
“Oh. Ya sudah, Pulang yuk.”
“Tuh kan, kamu juga sama saja dengan
yang lain! Kukira kau akan berbeda dengan yang lain, bisa memberikan komentar
yang bisa meringankan perasaanku. Tapi tidak!” Ujarnya. “Kamu sama saja dengan
yang lain, tak pernah benar-benar mendengar ceritaku. Kamu bohong saat
penasaran pada ceritaku. Ah iya, aku lupa, kau adalah penggombal sejati.”
Katanya disertai senyum sinis yang bisa membuat orang merinding karenanya. “Seharusnya
aku memang tak pernah percaya pada semua ucapanmu, semua orang sama saja!”
Gita lalu berbalik dan
meninggalkanku yang masih termangu. Bingung, sebenarnya tadi tuh apa?
Karena merasa bersalah, aku pun
berniat mengejarnya, tapi Gita Rubyana adalah pelari tercepat se-Indonesia, dia
adalah seorang atlet lari kebanggaan Indonesia. Akhirnya aku memacu motor
ninja-ku, dan Gita pun terkejar setelah satu menitan.
“Tunggu dulu, Git. Biarkan aku
bicara dulu.” Pintaku yang masih mengendarai motor di jalan yang jarang ada
kendaraan masuk kesini, bahkan angkutan umum.
“Mau bicara apa? Semua sudah terbukti
dengan kata-katamu tadi!”
“Kata-kataku yang mana, Git?”
“Kau menyuruhku pulang, setelah aku
bercerita! Apa kau tak pernah belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar,
hah!?” Ungkapnya dengan marah. Dia berbicara dengan nada yang lumayan cepat,
tapi dia tidak terengah-engah. Padahal ini sudah hampir tiga meter dari gerbang
sekolah.
“Soal itu, aku minta maaf Git. Aku
hanya tak tahu harus memberimu komentar apa.”
Tiba-tiba Gita menghentikan larinya
yang hanya bisa terkejar dengan motor. Aku yang spontan juga menginjak rem kaki
dan rem tangan, yang membuatku menabrak rerumputan dan motor itu melayangkan
aku. Aku melayang! Dan jatuh di bawah rerumputan.
“Ya ampun, Kevin! Mana yang lukanya?
Buka matamu Kevin.”
Aku merasa suara Gita berada di
dekatku, membawa tubuhku bersandar pada salah satu pohon besar di dekat aku
melayang.
“Aduh maaf banget ya Vin. Gara-gara
aku, kamu sampai jatuh dari motor begini. Katakanlah sesuatu Kevin.” Pintanya.
“Git, Gita. Aku bukan jatuh, tapi
terbang.” Ucapku lemah.
“Ap—? Ya ampun Kevin, kamu nggak
apa-apa? Maafkan aku.”
“Nggak apa-apa kok. Aku sudah biasa
begini, biasa anak karate penuh bantingan seperti tadi. Sayangnya aku tak ada
persiapan sama sekali. Aku kaget dengan kau yang tiba-tiba berhenti. Kau hebat!
Bisa lari begitu cepat dan berhenti begitu cepat juga.” Pujiku.
“Ma, maafkan aku. Sungguh, aku minta
maaf. Ayo, sekarang kita ke rumah sakit.”
“Rumah sakit? Ah, sakit seperti ini
sih tak ada apa-apanya.” Aku pun beranjak berdiri. Namun ada suara ‘krek’ dari
arah tulang rusukku. Dan aku berteriak dengan keras.
“Tuh kan, banyak laga sih. Ayo ke
rumah sakit.”
***
Sudah
hampir tiga belas hari aku tak pernah bertemu dengan pacar-pacarku yang
cantik-cantik dan seksi. Walau mereka terus memintaku menemui mereka, kubilang
aku sedang sibuk—dirawat dirumah sakit. Tulang rusukku patah tiga, urat leherku
sedikit menggeser, engsel kakiku tak bisa kugerakkan dan rasa sakit lainnya.
Tapi dengan melihat Gita yang kini sedang mengupas apel, kurasakan sakit itu
telah hilang tak berbekas.
Sorenya, setelah Gita pulang, aku
menelepon satu per satu pacar-pacarku dan meminta untuk putus. Banyak juga yang
menolak, tapi aku tahu cewek seperti mereka walau benar-benar menyayangiku,
tapi tanpa kehadiranku selama tiga belas hari ini, ku yakin mereka sudah punya
cadangan masing-masing.
Aku jadi jarang mendengar Gita
membicarakan pacarnya lagi, walau sudah kupaksa. Tapi biarlah, aku menikmati
waktu dirumah sakit dan dijenguk setiap hari oleh Gita Rubyana. Apa ini namanya cinta?